Rabu, 10 Mei 2017

MAKALAH DESENTRALISASI FISKAL

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Implementasi otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung jawab beserta desentralisasi fiskal yang mengikutinya, saat ini telah memasuki dasawarsa kedua. Pada dasarnya bahwa otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan instrumen yang digunakan dalam penyelenggaraan pembangunan negara dan bukan tujuan bernegara itu sendiri. Instrumen ini digunakan agar pencapaian tujuan bernegara, yaitu kesejahteraan masyarakat, dapat lebih mudah dicapai. Oleh karena itu, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dilakukan dengan menempatkan motor penggerak pembangunan pada tingkatan pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu pemerintah daerah. Dekatnya tingkat pemerintahan dengan masyarakatnya diharapkan dapat membuat kebijakan fiskal daerah akan benar-benar sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas daerah.
Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal, instrumen utama yang digunakan adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak dan transfer ke daerah. Meskipun kewenangan pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing power) daerah masih sangat terbatas, tetapi dari dari tahun ketahun terdapat peningkatan peran pendapatan asli daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dengan pemberiaan otonomi daerah kabupaten dan kota, pengelolaan keuangan sepenuhnya berada ditangan Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah yang baik dalam rangka mengelola dana desentralisasi secara transparan, ekonomis, efisien, efektif, dan akuntabel.
Kebijakan desentralisasi fiskal ke depannya diarahkan pada upaya untuk melakukan penguatan taxing power daerah dan perbaikan kebijakan transfer. Penguatan taxing power ke daerah telah diawali dengan terbitnya UU Nomor 28 Tahun 2009 dengan menyerahkan sebagian kewenangan perpajakan ke daerah.
Kebjakan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal didasarkan pada pertimbangan bahwa daerahlah yang lebih mengetahui kebutuhan dan standar pelayanan bagi masyarakat di daerahnya, sehingga pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memacu peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah definisi dari desentralisasi fiskal dan sumber penerimaan daerah?
2.      Apa tujuan desentralisasi fiskal?
3.      Apakah manfaat dan kelemahan desentralisasi fiskal?
4.      Bagaimana model-model desentralisasi fiskal?
5.      Apa saja dimensi ekonomi desentralisasi fiskal?
6.      Apa saja syarat-syarat keberhasilan desentralisasi fiskal?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui definisi dari desentralisasi fiskal dan sumber penerimaan daerah.
2.      Untuk mengetahui tujuan desentralisasi fiskal.
3.      Untuk mengetahui manfaat dan kelemahan desentralisasi fiskal.
4.      Untuk mengetahui model-model desentralisasi fiskal.
5.      Untuk mengetahui dimensi ekonomi desentralisasi fiskal.
6.      Untuk mengetahui syarat-syarat keberhasilan desentralisasi fiskal.








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Desentralisasi Fiskal dan Sumber Penerimaan Daerah.
Desentralisasi fiskal merupakan sebuah instrumen untuk mencapai pelayanan publik yang lebih baik dalam menciptakan proses pengambilan keputusan yang lebih demokratis. Menurut Ivar Kolstad dan Odd-Helge Fjeldstad, desentralisasi fiskal adalah pemberian wewenang belanja dan pengelolaan suber-sumber pendapatan kepada pemerintah daerah.
Bachrul Elmi mengatakan bahwa desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan dibidang penerimaan yang sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi dan pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat. Namun demikian ada yang mengartikan desentralisasi fiskal lebih luas dari sekedar pelimpahan kewenangan dibidang penerimaan. Dalam persspektif ilmu ekonomi desentralisasi fiskal diartikan dalam ukuran-ukuran keuangan seperti expenditure (pengeluaran/belanja) atau revenue (penerimaan/pendapatan). Pengertian desentralisasi fiskal yang tidak hanya pada aspek penerimaan, namun juga pada aspek pengeluaran, berhubungan dengan adanya kewenangan daerah atas sumber-sumber penerimaan daerah digunakan untuk membiayai pengeluaran atau belanja sesuai dengan kewenangan daerah. Di Indonesia desentralisasi fiskal yang terjadi adalah desentralisasi disisi pengeluaran yang berasal dari transfer ke daerah, sehingga pada esensinya pengelolaan fiskal didaerah dititik beratkan pada diskresi (kebebasan) untuk membelanjakan dana sesuai kebutuhan masing-masing daerah.
Dalam mengalokasikan pembelanjaan atas sumber-sumber penerimaannya terkait dengan fungsi desentralisasi, daerah memiliki kebijakan penuh untuk menentukan besaran dan sektor apa yang akan dibelanjakan (kecuali transfer DAK yang digunakan untuk kebutuhan khusus). Menurut UU No. 25 Tahun 1999 dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah maka sumber penerimaan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan (Hanif Nurcholis, 2005).
a.       Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yng sah. Lain-lain PAD yang sah dapat berupa hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang dan jasa oleh daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan aspek pendapatan yang paling utama dalam PAD karena nilai dan proporsinya yang cukup dominan.
b.      Dana Perimbangan
Dana perimbangan merupakan hasil kebijakan pemerintah pusat di bidang desentralisasi fiskal demi keseimbangan fiskal antara pusat dan daerah, yang terdiri dari dana bagi hasil (pajak dan sumber daya alam), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK).
c.       Dana Bagi Hasil (DBH)
 adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
d.      Dana Alokasi Umum (DAU)
Dengan terbitnya peraturan Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang dana perimbangan antara pemerintah pusat dan daerah menyebutkan dana alokasi umum yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan 29 perimbangan keuangan antara pusat dan daerah untuk membiayai pelaksanaan dengan tujuan 29 perimbangan keuanagan antara pusat dan daerah untuk membiayai pelaksanaan desentralisasi dana alokasi umum ini bersifat Block grant yang berarti penggunaan dana ini diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
e.       Dana Alokasi Khusus (DAK)
Peraturan pemerintah republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang dana perimbangan menyebutkan bahwa dana alokasi khusu adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional yang dilaksanakan di tingkat daerah.
f.       Lain-lain Pendapatan.
Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Hibah kepada daerah, yang bersumber dari luar negri, dilakukan melalui pemerintah pusat. Pemerintah mengalokasikan dana daruraat yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak (bencana nasional dan atau peristiwa luar biasa) yang tidak dapat diatas oleh daerah dengan menggunakan APBD.

B.     Tujuan Desentralisasi Fiskal
Pada dasarnya desentralisasi fiskal bertujuan untuk:
·         Kesinambungan kebijaksanaan fiskal dalam konteks kebijaksanaan ekonomi makro.
·         Mengoreksi vertical imbalance, yaitu untuk memperkecil ketimpangan yang terjadi antara keuangan pemerintah pusat dan keuangan daerah yang dilakukan  dengan memperbesar taxing power daerah.
Adapun tujuan desentralisasi fiskal daerah menurut Grand Design Desentralisasi Fiskal yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan adalah sebagai berikut:
·         Ketimpangan vertikal dan horizontal yang minimum.
·         Pendapatan dan pembiayaan yang efisien dan efektif. Jika Indonesi ingin menuju desentralisasi fiskal dengan penguatan kapasitas daerah, maka penguatan pajak daerah adalah suatu syarat penting yang harus dilaksanakan. Penguatan pajak daerah ini tidak  berarti memberikan suber fiskal tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap daerah dan nasional melainkan melalui penelaahan bebrapa faktor dengan mengacu pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
·         Siklus dan proses belanja daerah yang efisien dan efektif. Siklus dan proses belanja daerah dapat semakin ditingkatkan efisiensi dan efektivitasnya, dalam hal teknis administrasi dan kualitas penganggaran. Terkait dengan teknis administrasi, proses belanja daerah diupayakan 1). Tercpainya siklus anggaran yang tepat waktu. 2). Cakupan rencana kerja dari dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) tidak hanya menggambarkan kebijakan umum pemerintah daerah tetapi juga sudah mencakup detail program yang komprehensif termasuk dalam hal estimasi pembiayaannya. Serta 3). Penetapan mekanisme penyaluran dan administrasi dana tersisa (SILPA) yang juga dikaitkan dengan perubahan rencana kerja agar penyesuaian APBD dan realisasi budget dapat menghilangkan pemborosan pengeluaran dan juga untuk menjaga keberlanjutan dari suatu program pembangunan (program pemerintah).
·         Harmonisasi belanja pusat dan daerah
Satu hal yang pasti diharapkan akan terjadi dimasa yang akan datang adalah agar sinkronisasi dan koordinasi antar unit dan antar tingkatan pemerintah tidak lagi menjadi barang mewah yang sulit diperoleh. Sinkronisasi dan koordinasi antar unit dan antar tingkatan, terutama dalam program-program dan kegiatannya, haruslah diwujudkan melalui sistem perencanaan nasional yang mendukungnya. Sistem tersebut harus mempunyai alat atau regulasi untuk menjamin kepastian dan kejelaasan pembagian urusan diantara berbagai tingkatan, sehingga tidak terjadi lagi tumpang tindih belanja antar unit dan antar tingkatan.

C.    Manfaat dan Kelemahan Desentralisasi Fiskal
Menurut Bahl (20080, terdapat dua manfaat dan empat kelemahan desentralisasi fiskal. Manfaat desentralisasi fiskal adalah:
·         Efisiensi ekonomis.
Anggaran daerah untuk pelayanan publik bisa lebih mudah disesuaikan dengan preferensi masyarakat setempat dengan tingkat akuntabilitas dan kemauan bayar yang tinggi.
·         Peluang meningkatkan penerimaan pajak dari pajak daerah.
Pemerintah daerah bisa menarik pajak dengan basis konsumsi dan aset yang tidak bisa ditarik oleh pemerintah pusat.
Kelemahannya adalah:
·         Lemahnya kontrol pemerintah pusat terhadap ekonomi makro.
·         Sulitnya menerapkan kebijakan stabilitas ekonomi.
·         Sulitnya menerapkan kebijakan pembangunan ekonomi dengan pemerataan.
·         Besarnya biaya yang harus ditanggung pemerintah daerah daripada keuntungan yang didapat.

D.    Model-model Desentralisasi Fiskal
Menurut Bird dan Vaillancourt (1998) terdapat dua model hubungN fiskal antar pemerintahan yang berlaku saat ini, yakni:
a.       Federalisme Fiskal
Maksud dari federalisme fiskal yaitu pemerintah daerah tingkat II (kabupaten/kota) merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, atau dibeberapa negara yang berebntuk federal, pemerintah negara bagian bukan merupakan pelaku otonom. Karena konsentrsi dipusat cukup tinggi, kerangka yang sesuai untuk desentralisasi adalah bersifat Top down dan berpola dekonstrasi atau maksimalnya berpola delegasi. Kerangka analisis yang sesuai yakni agency theory, dimana menurut teori ini pemerintah pusat dapat secara sepihak menentukan dan mengubah baik tanggung jawab pengeluaran maupun pendapatan pemerintah daerah dan pengaturan hubungan antara pemerintahan.
Implikasi federalisme fiskal adalah berbagai bentuk transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dimana biasanya akan dibelanjakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan pemerintah pusat.
b.      Keuangan Federal
Dalam model keuangan federal, batas-batas resmi, penyerahan fungsi, wewenang, serta pembiayaannya sudah secara umum ditetapkan melalui sebuah undang-undang. Menurut Bird dan Chen (2006) dalam buku pengantar keuangan publik (2005), model keuangan federal lebih cocok diterapkan untuk beberapa negara yang memiliki keanekaragaman dalam aspek geografis dan etnis.
Secara teoritis, pada umumnya negara yang berbentuk federal yang menganut model keuangan federal, seperti Amerika Serikat dan Kanada. Pada negara berbentuk kesatuan, model keuangan federal juga berlaku di Indonesia, dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menetapkan pajak serta melakukan pinjaman secara mandiri, secara tidak langsung telah menerapkan model keuangan federal, bahkan derajat desentralisasi fiskal di Indonesia lebih tinggi dibandingkan Amerika Serikat.

E.     Dimensi Ekonomi Desentralisasi Fiskal
a.       Efisiensi : Teori desentralisasi didasarkan pada asumsi bahwa pemerintah pusat hanya dapat menyediakan barang dan jasa secara lintas wilayah secara konsisten. Oleh karena itu, sesuai dengan argumen ini terdapat keuntungan efisiensi potensial dari desentralisasi fiskal yaitu:
·         Efisiensi alokasi sumber daya
Desentralisasi akan meningkatkan efisiensi karena pemerintah memiliki informasi yang lebih baik mengenai kebutuhan penduduknya dibanding dengan pemerintah pusat.
·         Persaingan antar pemerintah daerah
Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah untuk meningkatkan inovasinya.
b.      Stabilitas makro ekonomi : Studi terkini menyatakan bahwa siste desentralisasi fiskal menawarkan perbaikan potensial yang lebih besar terhadap pengelolaan makro ekonomi dibandingkan sistem fiskal yang tersentralisasi.
c.       Keadilan : Aspek keadilan dari sebuah kebijakan keuangan publik ini berkaitan dengan retribusi pendapatan untuk mencapai keadilan sosial.

F.     Syarat-syarat Keberhasilan Desentralisasi Fiskal
Bird dan Vaillancourt mengisyaratkan ada dua persyaratan penting bagi kesuksesan desentralisasi , yaitu:
a.       Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis yaitu pengambilan keputusan manfaat dan biayanya harus transparan dan pihak-pihak terkait harus memiliki kesempatan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut.
b.      Biaya-biaya dari pengambilan keputusan tersebut sepenuhnya harus ditanggung oleh masyarakat, sehingga tidak perlu terjadi ekspor pajak dan tidak ada tambahan transfer dari level pemerintah yang lain.
Sementara itu Sidik (2002) menyebutkan bahwa keberhasilan pelaksanaan desentralisasi akan sangat bergantung pada desain, proses implementasi, dukungan politis, baik pada tingkat pengambilan keputusan dimasing-masing tingkat pemerintah maupun masyarakat seacara keseluruhan, kesiapan administrasi pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik. Disamping itu pemerintah daerah harus didukung oleh sumber-sumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari lokal, pinjaman, maupun transfer dari pemerintah pusat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan berpedoman pada hal-hal berikut:
·         Pemerintah pusat capable dalam melakukan pengawasan dan enforcement.
·         Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah

DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar